Sistem pembelajaran di sekolah-sekolah ketika ini cenderung hanya memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa. Guru memberikan warta kepada siswa yang pasif dan mengharapkan siswa untuk menghafal dan mengingatnya. Selain itu, guru hanya mengajarkan bahan kepada siswa secara individu. Padahal teori Darwin menekankan bahwa insan ialah makhluk sosial. Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah. Tanpa kerja sama, kehidupan ini sudah punah.
Pada zaman kini ini pendidikan sudah bukan lagi mengarah pada Teacher Center, tetapi Student Center. Saat ini siswa menjadi orientasi utama dalam acara pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Oleh alasannya itu, Siswa dituntut untuk sanggup lebih aktif, baik dalam berpikir, bertingkah laris maupun berkomunikasi dalam pembelajaran. Untuk menunjang hal tersebut, seorang Guru biasanya memakai banyak sekali macam metode dan model tertentu biar pembelajaran berorientasi pada siswa ini sanggup tercapai.
Metode atau model yang dipakai oleh guru biasanya berbentuk Cooperatif leraning, yakni pembelajaran yang menekankan pada kerjasama antara siswa yang satu dengan yang lain. Model pembelajaran Cooperatif leraning sangat beragam. Suyanto (2009:17) menuliskan ada 3 model pembelajaran cooperatif yang sering diterapkan diantaranya ialah (1) Think-Pair-Share; (2) Think-Pair-Square; dan (3) Expert Group.
Setiap model niscaya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini tergantung dari keefektivitasan dalam menerapkan model tersebut pada sebuah mata pelajaran tertentu. Pada dasarnya semua model pembelajaran sanggup dipakai untuk semua mata pelajaran, tidak ada model yang dibentuk hanya untuk mata pelajaran tertentu saja. Hanya saja kecocokan penggunaan model terhadap suatu mata pelajaran akan sangat kuat pada efektivitas fungsi dan tujuan pembelajaran yang diperlukan dari model tersebut.
Pada kesempatan kali ini kelompok kami memberikan sebuah model pembelajaran gres yang bisa dijadikan sebagai embel-embel acuan bagi para pengajar di Sekolah Dasar. Model ini berjulukan Think Pair Square Talkball Share (TPSTS). TPSTS merupakan adonan dari model Think Pair Share dan Think Pair Square, yang dikombinasikan dengan permainan Talkball.
Model Pembelajaran Think Pair Square Talkball Share
Model pembelajaran Think Pair Square Share merupakan pengembangan dari model Think Pair Share dan Think Pair Square yang telah dikembangkan masing-masing oleh Frank Lyman pada tahun 1982 dan Spencer Kagan pada tahun 1993 yang kami modifikasikan dengan permainan Talkball (talking ball). Karena model pembelajaran Think Pair Square Share sendiri sudah diterapkan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain dalam kelompok. Sehingga biar setiap siswa tetap mempunyai tanggung jawab dan kesempatan yang sama dalam memberikan hasil diskusi kami menambahkan dengan suatu permainan yaitu talkball di mana siswa tetap bisa bermain dan bernyanyi sambil belajar.
Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajarannya.
1. Think atau tahap berpikir, guru mengajukan pertanyaan atau permasalahan kepada siswa.
2. Siswa diberi kesempatan untuk berfikir atau mencari warta sendiri.
3. Guru membentuk kelompok kecil dengan anggota heterogen 4-6 orang.
4. Pair atau tahap berpasangan masing-masing siswa bertukar pikiran secara perpasangan (2 orang).
5. Square tiap pasangan memberikan hasil diskusi pada teman 1 anggota kelompok kecil.
6. Setiap kelompok kecil mengambil satu kesepakatan.
7. Permainan Talkball (talking ball)
8. Share, siswa yang mendapat bola ketika lagu berhenti maka harus memberikan hasil komitmen dari diskusi yang telah dilakukannya ke siswa lain dalam kelompok besar (kelas).
9. Guru menengahi dan menyatukan persepsi.
Keunggulan dari model ini diantaranya,
1. Mengembangkan kemampuan siswa dalam memberikan pandangan gres atas permasalahan yang diberikan.
2. Melatih siswa untuk memberikan pendapat.
3. Memberi kesempatan siswa untuk lebih banyak berdiskusi.
4. Setiap siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dengan teman lain yang lebih arif atau lebih lemah.
5. Melatih siswa untuk bertukar pendapat sekaligus menghargai pendapat yang berbeda.
6. Setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa memberikan hasil diskusi.
7. Adanya permainan dan bernyanyi sehingga siswa tidak bosan dengan pembelajaran yang berlangsung.
8. Dominasi guru dalam pembelajaran semakin berkurang dan pembelajaran lebih mengarah pada student oriented.
*) Dikirim oleh Putri Sulistyani, Mahasiswa PGSD UNY Angkatan 2010
Pada zaman kini ini pendidikan sudah bukan lagi mengarah pada Teacher Center, tetapi Student Center. Saat ini siswa menjadi orientasi utama dalam acara pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Oleh alasannya itu, Siswa dituntut untuk sanggup lebih aktif, baik dalam berpikir, bertingkah laris maupun berkomunikasi dalam pembelajaran. Untuk menunjang hal tersebut, seorang Guru biasanya memakai banyak sekali macam metode dan model tertentu biar pembelajaran berorientasi pada siswa ini sanggup tercapai.
Metode atau model yang dipakai oleh guru biasanya berbentuk Cooperatif leraning, yakni pembelajaran yang menekankan pada kerjasama antara siswa yang satu dengan yang lain. Model pembelajaran Cooperatif leraning sangat beragam. Suyanto (2009:17) menuliskan ada 3 model pembelajaran cooperatif yang sering diterapkan diantaranya ialah (1) Think-Pair-Share; (2) Think-Pair-Square; dan (3) Expert Group.
Setiap model niscaya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini tergantung dari keefektivitasan dalam menerapkan model tersebut pada sebuah mata pelajaran tertentu. Pada dasarnya semua model pembelajaran sanggup dipakai untuk semua mata pelajaran, tidak ada model yang dibentuk hanya untuk mata pelajaran tertentu saja. Hanya saja kecocokan penggunaan model terhadap suatu mata pelajaran akan sangat kuat pada efektivitas fungsi dan tujuan pembelajaran yang diperlukan dari model tersebut.
Pada kesempatan kali ini kelompok kami memberikan sebuah model pembelajaran gres yang bisa dijadikan sebagai embel-embel acuan bagi para pengajar di Sekolah Dasar. Model ini berjulukan Think Pair Square Talkball Share (TPSTS). TPSTS merupakan adonan dari model Think Pair Share dan Think Pair Square, yang dikombinasikan dengan permainan Talkball.
Model Pembelajaran Think Pair Square Talkball Share
Model pembelajaran Think Pair Square Share merupakan pengembangan dari model Think Pair Share dan Think Pair Square yang telah dikembangkan masing-masing oleh Frank Lyman pada tahun 1982 dan Spencer Kagan pada tahun 1993 yang kami modifikasikan dengan permainan Talkball (talking ball). Karena model pembelajaran Think Pair Square Share sendiri sudah diterapkan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain dalam kelompok. Sehingga biar setiap siswa tetap mempunyai tanggung jawab dan kesempatan yang sama dalam memberikan hasil diskusi kami menambahkan dengan suatu permainan yaitu talkball di mana siswa tetap bisa bermain dan bernyanyi sambil belajar.
Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajarannya.
1. Think atau tahap berpikir, guru mengajukan pertanyaan atau permasalahan kepada siswa.
2. Siswa diberi kesempatan untuk berfikir atau mencari warta sendiri.
3. Guru membentuk kelompok kecil dengan anggota heterogen 4-6 orang.
4. Pair atau tahap berpasangan masing-masing siswa bertukar pikiran secara perpasangan (2 orang).
5. Square tiap pasangan memberikan hasil diskusi pada teman 1 anggota kelompok kecil.
6. Setiap kelompok kecil mengambil satu kesepakatan.
7. Permainan Talkball (talking ball)
8. Share, siswa yang mendapat bola ketika lagu berhenti maka harus memberikan hasil komitmen dari diskusi yang telah dilakukannya ke siswa lain dalam kelompok besar (kelas).
9. Guru menengahi dan menyatukan persepsi.
Keunggulan dari model ini diantaranya,
1. Mengembangkan kemampuan siswa dalam memberikan pandangan gres atas permasalahan yang diberikan.
2. Melatih siswa untuk memberikan pendapat.
3. Memberi kesempatan siswa untuk lebih banyak berdiskusi.
4. Setiap siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dengan teman lain yang lebih arif atau lebih lemah.
5. Melatih siswa untuk bertukar pendapat sekaligus menghargai pendapat yang berbeda.
6. Setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa memberikan hasil diskusi.
7. Adanya permainan dan bernyanyi sehingga siswa tidak bosan dengan pembelajaran yang berlangsung.
8. Dominasi guru dalam pembelajaran semakin berkurang dan pembelajaran lebih mengarah pada student oriented.
*) Dikirim oleh Putri Sulistyani, Mahasiswa PGSD UNY Angkatan 2010
Advertisement