Masih teringat dan belum selesai kasus tawuran antar pelajar dan Miyabi di LKS, yang menjadi sorotan media beberapa ahad terakhir. Tentu saja ini sedikit banyak mencoreng dunia pendidikan di negeri ini. Dan mau tidak mau, sekolah dan guru juga menjadi forum dan orang yang juga menjadi perhatian. Penilaian masyarakat luas sangat bermacam-macam terhadap kasus ini yang secara tidak eksklusif akan mengurai permasalahan-permasalahan yang dihadapi di dunia pendidikan.
Di goresan pena ini akan membahas faktor interen pendidikan, khususnya sekolah atau guru. Sekolah dianggap membiarkan saja bentuk kekerasan, walau bantu-membantu tidak ada forum pendidikan atau tenaga pendidikan yang menghendaki sebuah kekerasan. Ada juga yang berkomentar, guru kini berbeda dengan guru yang dulu. Katanya guru kini mendidik tidak dengan hati, mereka mengajar untuk pekerjaan.
Kalau dilihat dari sejarahnya, memang guru kini lebih yummy dibanding dengan guru zaman dulu jikalau dilihat dari segi kesejahteraan. Walau hal ini juga bisa dibantah, alasannya masih banyak guru yang berstatus guru honorer atau guru tidak tetap yang jauh mendapat perhatian. Secara umum, keterbatasan sarana dan prasarana mulai berkurang, seharusnya pendidikan kita tidak hanya jalan di tempat.
Guru zaman dalam melaksanakan tugasnya cenderung dalam keterbatasan, bangunan yang rusak, buku yang tidak lengkap, honor yang sedikit. Tetapi dengan keterbatasan itu guru bisa mengatasinya dengan terus mendidik belum dewasa yang bisa menjadi penerus bangsa. Masyarakat bantu-membantu sederhana dalam memaknai keberhasilan pendidikan, bukan dengan angka contohnya mendapat selalu mendapat juara atau mendapat nilai tertinggi. Masyarakat menilai keberhasilan anak didiknya tidak hanya keberhasilan akademis, tetapi anaknya bisa bakir balig cukup akal secara emosional, mempunyai huruf yang baik dan bisa bersikap terpuji.
Guru zaman dahulu mempunyai kewenangan yang luas untuk mendidik anak di sekolah, sebagai orang bau tanah di sekolah. Tidak ada yang namanya orang bau tanah melaporkan guru anaknya. Orang bau tanah dan guru bisa bekerjasama dengan serasi dengan orang bau tanah anak didik. Ketika pulang ke rumah, orang bau tanah bisa menjadi guru yang baik bagi anaknya, masyarakat bisa mengajarkan nilai kehidupan.
Berbeda zaman tentu juga berbeda tantangan yang dihadapai, guru zaman kini tidak lagi terlalu dipusingkan dengan keterbatasan. Guru zaman kini lebih banyak tuntutan dan hukum yang harus dipatuhi. Sistem dan hukum memaksa guru terseret untuk melaksanakan yang menyalahi makna dari profesinya. Mulai dari diombang-ambingkan dengan kepentingan penguasa daerah, hukum yang menciptakan ruang gerak terbatas. Sibuk dengan kiprah administrasinya. Semua menjadi terasa harus menyerupai yang ada di dalam buku.
Satu lagi yang membedakan guru kini dengan guru dulu adalah, guru kini kurang lagi dihormati oleh anak didiknya. Pertanyaan besarnya, mengapa guru tidak lagi dihormati anak didiknya? Jika dulu, anak didik selalu menghormati anak didiknya bahkan sering didengar kisah anak didik yang rela menunggu di depan pintu gerbang untuk menunggu gurunya tiba dan membawakan tas dan sepedanya. Walau kadang guru memperlihatkan eksekusi pada anak didik, tetapi anak tetap menghoramati gurunya.
Sekarang banyak guru profesional, tetapi tidak tahu profesional itu yang menyerupai apa. Gaji cukup bahkan lebih tetapi masih saja merasa kurang, sampai-sampai SK-nya disekolahkan di bank. Biarlah, dulu ya dulu, kini ya sekarang. Mau berubah atau tidak tergantung orang dan sistem pendidikannya bisa merubah atau tidak. Pasti masih ada guru yang mendidik dengan hati. Tiap masa berbeda itu wajar, alasannya yang tantangan yang dihadapi juga berbeda, tentu harapannya bisa lebih baik. Sudahlah, tidak baik membicarakan orang apalagi membanding-bandingkan, tapi kalau komentar silahkan saja!
Ditulis oleh Kurnia Septa
Anda juga bisa menulis dan mengirimkan artikel reportase atau opini di sini.
Di goresan pena ini akan membahas faktor interen pendidikan, khususnya sekolah atau guru. Sekolah dianggap membiarkan saja bentuk kekerasan, walau bantu-membantu tidak ada forum pendidikan atau tenaga pendidikan yang menghendaki sebuah kekerasan. Ada juga yang berkomentar, guru kini berbeda dengan guru yang dulu. Katanya guru kini mendidik tidak dengan hati, mereka mengajar untuk pekerjaan.
Kalau dilihat dari sejarahnya, memang guru kini lebih yummy dibanding dengan guru zaman dulu jikalau dilihat dari segi kesejahteraan. Walau hal ini juga bisa dibantah, alasannya masih banyak guru yang berstatus guru honorer atau guru tidak tetap yang jauh mendapat perhatian. Secara umum, keterbatasan sarana dan prasarana mulai berkurang, seharusnya pendidikan kita tidak hanya jalan di tempat.
Guru zaman dalam melaksanakan tugasnya cenderung dalam keterbatasan, bangunan yang rusak, buku yang tidak lengkap, honor yang sedikit. Tetapi dengan keterbatasan itu guru bisa mengatasinya dengan terus mendidik belum dewasa yang bisa menjadi penerus bangsa. Masyarakat bantu-membantu sederhana dalam memaknai keberhasilan pendidikan, bukan dengan angka contohnya mendapat selalu mendapat juara atau mendapat nilai tertinggi. Masyarakat menilai keberhasilan anak didiknya tidak hanya keberhasilan akademis, tetapi anaknya bisa bakir balig cukup akal secara emosional, mempunyai huruf yang baik dan bisa bersikap terpuji.
Guru zaman dahulu mempunyai kewenangan yang luas untuk mendidik anak di sekolah, sebagai orang bau tanah di sekolah. Tidak ada yang namanya orang bau tanah melaporkan guru anaknya. Orang bau tanah dan guru bisa bekerjasama dengan serasi dengan orang bau tanah anak didik. Ketika pulang ke rumah, orang bau tanah bisa menjadi guru yang baik bagi anaknya, masyarakat bisa mengajarkan nilai kehidupan.
Berbeda zaman tentu juga berbeda tantangan yang dihadapai, guru zaman kini tidak lagi terlalu dipusingkan dengan keterbatasan. Guru zaman kini lebih banyak tuntutan dan hukum yang harus dipatuhi. Sistem dan hukum memaksa guru terseret untuk melaksanakan yang menyalahi makna dari profesinya. Mulai dari diombang-ambingkan dengan kepentingan penguasa daerah, hukum yang menciptakan ruang gerak terbatas. Sibuk dengan kiprah administrasinya. Semua menjadi terasa harus menyerupai yang ada di dalam buku.
Satu lagi yang membedakan guru kini dengan guru dulu adalah, guru kini kurang lagi dihormati oleh anak didiknya. Pertanyaan besarnya, mengapa guru tidak lagi dihormati anak didiknya? Jika dulu, anak didik selalu menghormati anak didiknya bahkan sering didengar kisah anak didik yang rela menunggu di depan pintu gerbang untuk menunggu gurunya tiba dan membawakan tas dan sepedanya. Walau kadang guru memperlihatkan eksekusi pada anak didik, tetapi anak tetap menghoramati gurunya.
Sekarang banyak guru profesional, tetapi tidak tahu profesional itu yang menyerupai apa. Gaji cukup bahkan lebih tetapi masih saja merasa kurang, sampai-sampai SK-nya disekolahkan di bank. Biarlah, dulu ya dulu, kini ya sekarang. Mau berubah atau tidak tergantung orang dan sistem pendidikannya bisa merubah atau tidak. Pasti masih ada guru yang mendidik dengan hati. Tiap masa berbeda itu wajar, alasannya yang tantangan yang dihadapi juga berbeda, tentu harapannya bisa lebih baik. Sudahlah, tidak baik membicarakan orang apalagi membanding-bandingkan, tapi kalau komentar silahkan saja!
Ditulis oleh Kurnia Septa
Anda juga bisa menulis dan mengirimkan artikel reportase atau opini di sini.
Advertisement