Guru: digugu dan ditiru. Akronim ini mengingatkan saya ihwal profesionalitas sebagai guru. Menjaga profesionalitas sebagai guru dengan menjaga sikap dan perkataan. Bukankah seorang guru senantiasa menjadi pola di mata siswa dan lingkungan?
Guru seringkali dianggap insan setengah yang kuasa padahal ia hanyalah insan biasa. Yang bisa resah gulana bahkan memendam murka luar biasa. “Bukanlah orang berpengaruh itu dengan bergulat,tapi orang yang berpengaruh itu ialah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika marah.” (HR.Muslim)
Semua orang niscaya pernah mencicipi emosi negatif ini. Namun, sebagai guru,tentu harus lebih cerdas mengelola marah. Terlebih bagi bagi guru perempuan. Adakalanya ia mengalami masa pre-menstruasi syndrom. Masa hormonal yang menciptakan seorang wanita lebih gampang emosional. Sebagai seorang guru, ia harus lebih bisa mengendalikan diri. Intinya dihentikan moody jika Anda bercita-cita menjadi guru.Itu prinsip saya.
Begitu juga dengan tumpukan problem domestik yang tanpa sengaja terbawa ke dalam kelas. Air wajah kita bisa menjadi sangat murung,keruh,dan cemberut. Kalimat-kalimat kita mungkin jauh dari kesabaran dan kebijaksanaan. Itu bisa makin ruwet kalau kondisi badan kita sedang tidak fit. Akhirnya, ujung-ujungnya bawah umur kita di dalam kelas yang akan tertimpa petaka ketidaknyamanan fisik dan psikis yang sedang kita rasakan ketika itu.
Mengapa? Karena emosi negatif menciptakan kita cenderung reaksioner menghadapi kebandelan siswa di kelas. Kelas yang ribut misalnya, akan semakin tak terkendali kalau kita biarkan saja. Namun, kalau kita murka dan serampangan, bawah umur takkan menghargai gurunya. Hadapi dengan senyum dan kata-kata santun meskipun ketika kita menegur mereka.
Mungkin ini dinilai terlalu idealis dengan kata lain terlalu berlebihan. Sebagai insan biasa, tentu kita tak bisa tepat meskipun kita yaitu seorang guru. “Guru juga insan biasa,” menyadur kalimat slogan. Namun, sama halnya dengan cara mendidik bawah umur kita di rumah. Jadikan pola sebagai kunci keberhasilan pendidikan.
Guru sebagai distributor perubahan.
Ingatlah, Rasulullah mengajari kita bersikap lembut kepada siapa pun,bahkan kepada musuh. Apalagi ini anak didik kita, di tangan dan langkah mereka, masa depan negeri ini kelak akan dijalankan.
*) Ditulis dan dikirim oleh Sugi Siswiyanti
Guru seringkali dianggap insan setengah yang kuasa padahal ia hanyalah insan biasa. Yang bisa resah gulana bahkan memendam murka luar biasa. “Bukanlah orang berpengaruh itu dengan bergulat,tapi orang yang berpengaruh itu ialah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika marah.” (HR.Muslim)
Semua orang niscaya pernah mencicipi emosi negatif ini. Namun, sebagai guru,tentu harus lebih cerdas mengelola marah. Terlebih bagi bagi guru perempuan. Adakalanya ia mengalami masa pre-menstruasi syndrom. Masa hormonal yang menciptakan seorang wanita lebih gampang emosional. Sebagai seorang guru, ia harus lebih bisa mengendalikan diri. Intinya dihentikan moody jika Anda bercita-cita menjadi guru.Itu prinsip saya.
Begitu juga dengan tumpukan problem domestik yang tanpa sengaja terbawa ke dalam kelas. Air wajah kita bisa menjadi sangat murung,keruh,dan cemberut. Kalimat-kalimat kita mungkin jauh dari kesabaran dan kebijaksanaan. Itu bisa makin ruwet kalau kondisi badan kita sedang tidak fit. Akhirnya, ujung-ujungnya bawah umur kita di dalam kelas yang akan tertimpa petaka ketidaknyamanan fisik dan psikis yang sedang kita rasakan ketika itu.
Mengapa? Karena emosi negatif menciptakan kita cenderung reaksioner menghadapi kebandelan siswa di kelas. Kelas yang ribut misalnya, akan semakin tak terkendali kalau kita biarkan saja. Namun, kalau kita murka dan serampangan, bawah umur takkan menghargai gurunya. Hadapi dengan senyum dan kata-kata santun meskipun ketika kita menegur mereka.
Mungkin ini dinilai terlalu idealis dengan kata lain terlalu berlebihan. Sebagai insan biasa, tentu kita tak bisa tepat meskipun kita yaitu seorang guru. “Guru juga insan biasa,” menyadur kalimat slogan. Namun, sama halnya dengan cara mendidik bawah umur kita di rumah. Jadikan pola sebagai kunci keberhasilan pendidikan.
Guru sebagai distributor perubahan.
Ingatlah, Rasulullah mengajari kita bersikap lembut kepada siapa pun,bahkan kepada musuh. Apalagi ini anak didik kita, di tangan dan langkah mereka, masa depan negeri ini kelak akan dijalankan.
*) Ditulis dan dikirim oleh Sugi Siswiyanti
Advertisement