Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Khutbah I
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ التّقْوَى خَيْرَ الزَّادِ وَاللِّبَاسِ وَأَمَرَنَا أَنْ تَزَوَّدَ بِهَا لِيوْم الحِسَاب اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ رَبُّ النَّاسِ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المَوْصُوْفُ بِأَكْمَلِ صِفَاتِ الأَشْخَاصِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وسَلّمْ تَسليمًا كَثِيرًا ، أَمَّا بَعْدُ ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Jamaah Jum’at rahimakumullâh,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan kepada salah satu sahabatnya, Abu Dzar al-Ghifari, sebagaimana termaktub dalam kitab Nashaihul ‘Ibad.
يَا أَبَا ذَرٍّ، جَدِّدِ السَّفِيْنَةَ فَإِنَّ اْلبَحْرَ عَمِيْقٌ، وَخُذِ الزَّادَ كَامِلاً فَإِنَّ السَّفَرَ بَعِيْدٌ، وَخَفِّفِ اْلحِمْلَ فَإِنَّ العَقَبَةُ كَئُوْدٌ، وَأَخْلِصِ اْلعَمَلَ فَإِنَّ النَاقَدَ بَصِيْرٌ
"Wahai Abu Dzar, perbaharuilah kapalmu karena maritim itu dalam; ambilah bekal yang cukup karena perjalanannya jauh; ringankan beban bawaan karena lereng bukit sulit dilalui, dan ikhlaslah berinfak karena Allah Maha Teliti."
Pesan Rasulullah dalam hadits ini disampaikan dalam makna tersirat. Pengertian tersebunyi dalam kata-kata kiasan di dalamnya. Nasihat sejatinya tak hanya ditujukan kepada Abu Dzar melainkan juga kepada umat dia secara umum dan sepanjang zaman. Menurut penulis Nashaihul 'Ibad, Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani (Imam Nawawi), perintah untuk memperharui bahtera berarti menata niat.
Niat merupakan hal pokok dalam setiap perbuatan. Sebelum seseorang hendak berlayar, ia harus memastikan kapal dalam kondisi siap dan aman; menyidik mesin, mempertimbangkan cuaca, dan lain-lain. Begitu pula dengan korelasi niat dan amal. Artinya, seseorang yang ingin melaksanakan sesuatu hendaklah menertibkan rencana dan tujuan yang bagus. Selain memantapkan langkah, niat juga membantu seseorang untuk fokus pada arah yang digariskan, yakni untuk mencari ridha Allah subhanahu wata’ala.
Tentang niat sebagai pekerjaan yang wajib dalam setiap amal sanggup kita simak dengan terang dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa “Sesungguhnya sahnya setiap amal perbuatan yaitu dengan niat. Setiap orang hanya memperoleh dari apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau, kepada perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang jadinya ia berhijrah."
Niat yaitu pekerjaan hati. Dalam fiqih menjadi kepingan dari rukn qalbi atau rukun hati. Karena itu, ia bersifat tersembunyi, tak ada orang lain yang sanggup menyaksikannya keciali Allah dan dirinya sendiri. Bibir sanggup saja berucap tujuan A, tapi siapa yang tahu hati berkehendak untuk tujuan lain? Itulah sebabnya ibadah sebagus apa pun apabila tak disertai dengan niat yang baik maka akan menjadi sia-sia belaka. Tetapi perbuatan yang sekilas terlihat “remeh” dengan niat yang tertata dan baik maka akan menjadi mempunyai nilai.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan,
كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِيَّة مِن أَعْمَالِ الآخِرَة، كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الأخرة ثُمَّ يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة
Artinya: “Banyak perbuatan yang tampak sebagai perbuatan duniawi berkembang menjadi perbuatan ukhrawi karena niat yang bagus. Banyak pula perbuatan yang terlihat sebagai perbuatan ukhrawi bergeser menjadi perbuatan duniawi karena niat yang buruk.”
Yang kedua, Rasulullah mengingatkan Abu Dzar dan kita semua perihal perjuangan untuk menumpuk perbekalan sesempurna mungkin karena perjalanan akan panjang. Menurut Syekh Nawawi, yang dimaksud di sini tentu yaitu perjalanan alam abadi yang penuh dengan jerih payah melebihi perjalan dunia yang fana ini.
Karena perjalanan tersebut yaitu perjalanan alam abadi maka bekalnya pun bukan kekayaan duniawi. Kita pergi ke alam abadi hanya membawa bekal amal kebaikan. Selebihnya, baik rumah, mobil, pabrik, tanah, anak, istri, jabatan, popularitas akan ditinggal begitu saja. Di akhiratlah berlangsung hari pembalasan atas segenap sikap kita selama di dunia. Bagi yang tak cukup bekal mereka pun bakal menyesal. Seperti diungkapkan dalam Surat Al-Fajr ayat 24 yang merekam penyesalan sebagian orang:
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Duhai, alangkah baiknya kiranya saya dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”
Hadirin hadâkumullah,
Cakupan amal saleh sangat luas. Tak hanya mencakup ibadah ritual semacam shalat, wirid, atau puasa. Amal saleh juga sanggup berupa membantu pendidikan anak miskin yang sedang kesusahan, membebaskan binatang dari kandang ke habitat semestinya, membangun perpustakaan untuk masjid, memberi kesadaran kepada masyarakat perihal membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, dan lain sebagainya. Semua ini hanya akan bernilai jikalau niat yang terbesit sesuai dengan koridornya, sebagaimana pesan Rasulullah di awal tadi.
Nasihat ini berjalin kelindan dengan pesan metaforis Rasulullah berikutnya, yakni perintah untuk meringankan beban bawaan karena terjal dan berlikunya lereng gunung yang dilintasi. Perjalanan yang jauh dengan tingkat kesulitan yang tinggi menuntut seseorang untuk mempertimbangkan barang-barang bawaan dikala bepergian. Ini merupakan kiasan dari proposal untuk tak terlalu meninggalkan beban duniawi yang bakal menghambat perjalanan akhirat. Nabi mendorong umatnya biar tak terlalu terpukau pada kehidupan dunia karena semakin banyak, semakin banyak pula beban yang bakal ditanggung. Karena negeri alam abadi yaitu daerah menghisab segala yang dimiliki, termasuk hal-hal yang bersangkut paut hak sesama insan (haqq adamî), menyerupai hutang serta berbuat kesalahan terhadap orang lain yang belum termaafkan.
Nasihat yang keempat yaitu akhlish al-‘amala, murnikanlah berbuat hanya untuk tujuan mencari ridha Allah. Jika kita berguru fiqih, tulus memang tak menjadi salah satu rukun yang mesti dilakukan. Tapi tulus yaitu “ruh” yang memilih apakah suatu amal mempunyai harga di sisi Allah subhanahu wata’ala.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Khutbah II
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Alif Budi Luhur
Sumber : http://www.nu.or.id/
Advertisement